Pandangan seisi Kafe Golga langsung terpusat pada meja nomor 33. Ada yang melotot sambil mengumpat. Beberapa menyipitkan mata sambil menggerutu risih. Sementara sisanya, terpaku penasaran, menunggu apa yang selanjutnya akan dilakukan lelaki berambut cepak itu setelah membakar suasana menjadi canggung.
Baron datang untuk minum kopi sebagaimana penikmat kopi lainnya. Bedanya, setelah seruputan kopi pertamanya, ia berteriak sambil berdiri. Mengeluarkan segenap suara yang bersarang di kerongkonganya. Pelayan menghampirinya, memperingatkan lelaki gempal itu untuk tetap menjaga ketenangan. Ia menatap nanar, tetapi tunduk jua dan duduk. Namun, setelah seruputan keduanya, ia sekali lagi beraksi dengan teriakan yang lebih kencang. Sekumpulan pemuda yang duduk di sudut kafe mulai memakinya. "Jangan berisik di sini, gendut bangsat!" Untuk yang kedua kalinya, pelayan bergegas datang. Dan, kali ini pelayan itu memintanya pergi.
Ia menatap segenap mata yang menghujam padanya. Pelayan itu mencoba menarik lengannya. Ia akhirnya mengangkat tangan, meminta waktu untuk menghabisi sisa kopi di gelasnya. Sambil berdiri, ia meneguknya sampai tandas. Lalu, ia berjalan menuju pintu keluar dengan diikuti puluhan pasang mata yang masih tidak senang. "Kenapa dengan bodohnya, kalian berpura-pura bahagia, padahal punya segelas kopi!" teriak Baron sebelum membanting pintu dan pergi.