Apa yang terpikirkan saat mendengar kata, sekolah? Jenuh, membosankan, dan berbagai stigma negatif lainya. Termasuk cemoohan, "Sekolah Bikin Bodoh".
Tak bisa disangkal jika sekolah memang terasa begitu. Bahkan para murid sendiri mungkin akan mengungkapkan hal yang sama. Dan, akan cenderung malas jika disuruh pergi sekolah.
Namun, bukankah ini pekerjaan sesungguhnya? Alih-alih, melabeli sekolah akan bikin bodoh, bukankah akan lebih baik jika melabelinya dengan, " Sekolah Kita Perlu Perubahan".
Bukan hanya sekedar bangunan. Bangunan memang penting untuk menunjang proses belajar, tetapi tembok persegi itu hanya ruang mati. Namun, semangat, konsep, cara pandang, semuanya rasanya memang perlu dirombak total.
Melabeli sekolah dengan cap buruk, gampangannya tidak ada gunanya. Malah akan membuat orang semakin benci dengan sekolah. Padahal, kalau mau dipikir-pikir bukan sekolah yang bersalah. Bukan ruang mati itu! Melainkan, manusia yang ada di sekolah. Wajah-wajah yang menghiasi setiap sisinya.
Jadi, kalau mau menyalahkan dan melabeli, kenapa tidak menyalahkan orangnya? Memang sekolah bikin bodoh terkesan seperti satire atau sindiran halus. Namun, para murid di sekolah, harus diakui belum cukup akal untuk mengerti maksud sesungguhnya. Terlebih di Indonesia, yang ada anak-anak yang seharusnya menyukai sekolah, malah malas sekolah.
Mari sedikit mengkonsep ulang masalah sekolah ini. Apa itu sekolah? Sekolah tempat untuk belajar. Pendapat itu tidak salah. Namun, tidak sepenuhnya benar. Belajar seperti apa yang dimaksud? Tentu saat ini, belajar yang bisa dibayangkan adalah belajar dari buku. Tekstual.
Belajar dari buku bukanlah hal keliru. Namun, ada yang besar yang bisa dipelajari dari sekedar buku. Dan, rasanya buku diciptakan untuk sumber pengetahuan tambahan.
Pelajaran yang harus diperdalam sebenarnya adalah kehidupan. Dari pelajaran kehidupanlah, buku-buku yang dahsyat bisa dituliskan. Gampangannya, kalau mau dikonsep ulang, sekolah merupakan tempat berlajar untuk mempersiapkan murid untuk mempelajari kehidupannya.
Seperti, bakatnya, minatnya, impiannya, mindset yang diperlukan, dan peta tentang dirinya sendiri. Sialnya, sekolah yang ada saat ini memang tidak memberikan gambaran itu semua.
Sekolah berdalih menyiapkan itu semua, tetapi dengan buku yang menakutkan. Dengan rumus yang tebal dan sulit. Bersama kimia yang membuat murid serasa keracunan. Bukan berarti mempelajari hal-hal tersebut tidak penting, tetapi sekarang konsep akan sekolah itu sendiri sudah terlalu suram dan menakutkan.
Sekolah tidak menjadi tempat yang menyenangkan. Tempat di mana seharusnya para murid bisa mengeksplore kapasitas dirinya sebebas mungkin. Misalnya, yang suka menyanyi, tinggal mengikuti kelas menyanyi. Yang suka melukis, tinggal ikut kelas melukis. Yang ingin menjadi dokter, mengeksplore dirinya dengan ilmu eksak.
Dan, rasanya murid tidak terlalu naif untuk menjadi pelukis tanpa belajar membaca, penjumlahan, dan pengurangan. Atau, bahkan aljabar, trigonometri, dan kalkulus sekalipun.
Sebab, sekali murid mengeksplore dirinya dengan satu hal, murid juga tidak akan puas. Entah karena akhirnya merasa tidak cocok atau jenuh. Dengan sendirinya bidang-bidang yang lainnya akan terjemah.
Jadi, kurang lebih begitulah konsep sekolah. Seharusnya tidak jauh beda dengan rumah. Tempat pergi dan kembali. Sekolah tempat belajar dan kembali belajar lagi. Dan, pasti konsep tentang sekolah ini masih bisa digali untuk semakin lebih baik.